Kisah Kejujuran Syaikh Abdul Qadir Jailani

Seorang ibu mulai mempersiapkan kepergian anaknya. Dia terus menangis dan bersedih, karena tahu bahwa inilah perpisahan yang selamanya. Mereka tidak akan selamanya hidup, namun inilah keinginan anaknya dan di atasnya ada kehendak Allah Swt. Yang tidak dapat ditolak. Dalam semua ini terdapat sebuh hikmah yang akan muncul setelah itu.

Ibunda Syaikh Abdul Qadir Jailani memiliki 80 dinar warisan dari ayahandanya Syaikh Abdul Qadir Jailani. Itu harta dunia miliknya. Dia hendak memberikan semuanya kepada Syaikh yang pada saat itu masih muda dan membutuhkan bekal selama perjalanan dan keterasingannya di Bagdad, namun Syaikh menolak membawa semuanya. Dia membawa setengahnya, yakni 40 dinar, lalu memberikan yang setengahnya lagi kepada ibunya. Ibunya menyimpan uang tersebut di saku yang dia jahit untuk anaknya, tepat di bawah ketiak mantelnya, agar tidak terlihat oleh pencuri atau perampok. Mereka menunggu jadwal keberangkatan kafilah dari jailan yang pergi ke Bagdad. Lalu Syaikh muda itu pun ikut bersama mereka. Beliau tidak membawa harta selain ketakwaan, tulusnya keimanan yang meresap di dalam hati, akhlak mulia yang tumbuh dan terpelihara, serta uang sebesar 40 dinar. Ketika hendak berpisah, ibunya berpesan:

“Wahai Anakku, janganlah berbohong, karena seorang mukmin tidak akan berbohong. Wahai Anakku, jadlah orang yang jujur selamanya, sebagaimana aku telah mendidikmu. Inilah harapanku kepadamu.”

Kemudian pergilah kafilah tersebut menuju Hamadzan, daerah Iran bagian tengah. Mereka beristirahat di sana beberapa hari, lalu melanjutkan pergi menuju Bagdad. Peristiwa ini terjadi pada 488 Hijriah.

Kafilah datang ke Hamadzan dengan selamat, lalu mereka istirahat beberapa hari disana. Ketika melanjutkan perjalanan menuju Bagdad, di sanalah Syaikh Abdul Qadir Jailani mendapatkan ujian pertamanya: ujian terhadap aqidah, keimanan, akhlak, dan kejujurannya. Beliau telah berhasil melewati ujian tersebut.

Ketika kafilah tersebut dalam perjalanan dari Hamadzan menuju Bagdad, datanglah sekelompok pencuri dan oerampok dengan berkendara kuda, mengelilingi mereka dari segala arah. Mereka berteriak agar kafilah itu menyerah. Kafilah merasa kebingungan, sehingga mereka berhentikan kendaraannya. Dan mulailah perampok memeriksa kafilah itu satu persatu, lalu mengambil sesuatu yang ringan tapi berharga. Syaikh Abdul Qodir Jailani duduk sambil menunggu gilirannya untuk diperiksa. Salah seorang dari perampok melewati dan menanyai setiap orang. Mereka tidak mengaku memiliki harta. Lalu perampok itu menggeledah dan mengluarkan harta mereka dan merebutnya.

Tibalah giliran Syaikh muda. Si perampok melihatnya hanya sekedar anak muda berbaju biasa yang tidak menunjukkan orang yang berharta dan berpenampilan seorang saudagar. Si perampok melewatinya, lalu menuju orang berikutnya. Sambil berlalu, si perampok bertanya kepada Syaikh seperti yang dia tanyakan kepada yang lainnya, “apakah kau memiliki sesutu?” kemudian dia melangkahkan kakinya, karena merasa yakin bahwa jawabanya adalah tidak. Namun ternyata dia mendapat jawaban yang membuatnya kaget. Syaikh Abdul Qodir Jailani menjawab, “Ya, saya punya 40 dinar.” Si perampok merasa tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia kembali bertanya, lalu Syaikh kembali menjawab, “Ya, saya punya 40 dinar.” Si perampok menyangka, anak muda ini hanya memperolok-olok atau sekedar bercanda. Tetapi setelah dia terus menanyainya, barulah dia merasa yakin bahwa yang dikatakan anak muda itu benar. Dia langsung terperanjat, lalu berkata, “Ayo, temui pemimpin kelompok kami.”

Di sana, pemimpin kelompok perampok itu kembali bertanya, lalu Syaikh Abdul Qadir Jailani kembali menjawab, “ya, saya punya 40 dinar.” Lalu dimanakah itu?” tanya pemimpin perampok tersebut. Beliau mengeluarkan uang tersebut dari bawah ketiaknya. Maka terkejutlah si pemimpin perampok. Setelah menghitungnya, ternyata jumlahnya tepat 40 dinar. Dia bertanya kepada Syaikh, “Apa yang mendorong kamu untuk mengaku, padahal uang tersebut ada di tempat yang aman dan kami pun tidak menyangka kau memiliki sesuatu?” Syaikh Abdul Qodir Jailani menjawab, “karena sebelum pergi, ibuku berpesan kepadaku agar aku selalu jujur dan tidak berbohong selamanya. Orang ini bertanya kepadaku, “apakah kamu memiliki sesuatu?, “ maka aku tidak berbohong kepadanya.”

Si pemimpin perampok pencuri tersebut mulai terpengaruh dengan apa yang dia dengar. Dia pun menangis, padahal dia tidak pernah mengenal tangisan selama hidupnya. Dia lalu menoleh kepada Syaikh Abdul Qadir Jailani dan berkata, “Kamu telah di nasihati ibumu, lalu kamu mengingat nasihatnya, walaupun kamu tahu resikonya, apa yang kamu miliki itu akan hilang. Sementara kami, bertahun-tahun merampok, merampas harta, dan meneror orang-orang yang aman, lalu menamai diri kami sebagai orang-orang Muslim. Saksikanlah, Nak. Sejak saat ini aku akan sungguh bertobat dari semua itu.”

Kemudian dia memanggil semua anak buahnya, menceritakan kisah anak muda tersebut. Mereka semua terpengaruh, lalu mengikuti pemimpinnya untuk bertobat dari perilaku yang bertentangan dengan syariat Allah. Lalu kafilah tersebut melanjutkan perjalanannya hingga tiba di Bagdad dengan rasa aman, karena turut di kawal oleh mereka. Bukankah ini adalah karamah Syaikh Abdul Qadir Jailani yang paling agung?

Ahmad Ariefuddin

Tinggalkan komentar