Apakah anak perempuan memiliki hak dalam memilih jodoh?

 

Para ahli hadis menyepakati sabda Rasulullah Saw., “Seorang janda tak boleh dinikahkan sebelum ia diajak bermusyawarah, dan seorang gadis tak boleh dinikahkan sebelum dimintai izinnya.” Kemudian para sahabat bertanya, “Bagaimana diketahui persetujuannya?”. Nabi Saw. Menjawab, “Diamnya menunjukkan persetujuannya.”

Dlam riwayat lain, Nabi Saw. Bersabda, “Seorang janda lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, dan seorang gadis dimintai persetujuannya. Adapun persetujuannya dapat diketahui dari diamnya.”

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa seorang anak gadis menghadap Rasulullah Saw. Dan mengatakan kepada beliau bahwa ayahnya hendak menikahkannya, sedangkan ia sendiri tidak ingin menikah. Maka Rasulullah Saw. Menyerahkan kepadanya agar ia memilih (antara menerima keinginan si ayah atau menolaknya).

Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa seorang gadis mendatangai Aisyah r.a. (Istri Nabi Saw)., dan berkata kepadanya, “Ayahku ingin mengawinkan aku dengan kemenakannya, agar dengan itu ia meningkatkan derajatnya (dalam masyarakat atau dalam hal keuangan), sedangkan aku sebenarnya tak menyukainya.” Aisyah berkata kepadanya, “Tunggu sampai Rasulullah Saw. Datang!” Maka, ketika Rasulullah Saw. Datang, Aisyah menyampaikan kepada Rasulullah tentang keluhan gadis tersebut. beliau segera mengutus orang untuk memanggil ayah si gadis, dan setelah itu ia menyerahkan urusan tersebut kepada si gadis. Namun, segera setelah menyadari bahwa pilihan itu kini berada di tangannya, gadis itu berkata, “Ya Rasulullah, kini aku menyutujui apa yang dikehendaki oleh ayahku. Aku hanya ingin menyampaikan kepada kaum perempuan bahwa ayah-ayah mereka tidak memiliki hak apa pun dalam urusan seperti itu!.

Walaupun demikian, kaum Syafi’i dan Hanbali memberikan hak penuh kepada para ayah untuk memaksa anak perempuan mereka yang telah dewasa, kawin dengan pilihan sang ayah meskipun si anak perempuan tidak menyukainya! Sungguh kami tidak melihat alasan bagi pendapat seperti ini, selain mengikuti tradisi menghinakan perempuan dan meremehkan kepribadiannya.

Sebaliknya, kaum Hanafi memberikan hak sepenuhnya kepada perempuan untuk menikahkan dirinya sendiri, sebagai pelaksanaan apa yang ditunjukkan oleh teks-teks Al-Qur’an yang dipahami secara langsung. Sungguh benar firman Allah:

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka, berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada Hari Kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Baqarah [2]: 148).

 

Tinggalkan komentar