Tradisi Dhangdangan dari Sunan Kudus

Asal usul tradisi dhangdangan ialah di pelopori oleh Sunan kudus. Setiap kali bulan suci datang menjelang, umat Islam di Kudus dan sekitarnya menyambut dengan suka cita. Maka momentum kehadiran bulan Ramadhan menjadi sesuatu yang istimewa. Bahkan penanda masuknya bulan Ramadhan ini menjadi sebuah tradisi penting bagi umat Islam di Kudus yang kehadirannya tak lepas dari peran Sunan Kudus. Tradisi tersebut populer di masyarakat dikenal dengan Dhandangan, sedang pencetusnya adalah Kanjeng Sunan Kudus.

Tradisi itu bermula dari mendengarkan pengumuman dari sesepuh Masjid Menara Kudus mengenai kapan dimulainya hari pertama puasa. Pengumuman itu di awali dengan pemukulan beduk yang berbunyi dhang-dhang-dhang. Bunyi beduk itulah yang memunculkan kata Dhandangan, sehingga kebiasaan tersebut dikenal dengan tradsi Dhandangan.

Gus-Ji-Gang dalam tradisi Dhandangan

Salah satu fenomena budaya bagi masyarakat Kudus Kulon dalam tradisi tradisi Dhandangan terutama pada puluhan tahun yang lalu adalah menajdikan momentum ini sebagai ajang silaturahmi antar anak saudara. Bahkan tak jarang momentum Dhandangan juga menjadi media ta’aruf agar orang tua yang memiliki anak putri segera menemukan jodohnya, pemuda ideal.

Bagi masyarakat Kudus terutama di lingkungan Kudus Kulon yang di maksud pemuda ideal harus memiliki minimal 3 (tiga) karakter yang populer dalam akronim “Gus-Ji-Bang” atau kepanjangan dari Bagus akhlaknya, pintar mengaJi, dan terampil berdaGang). Ketika karakter pemuda ideal tersebut dapat di jelaskan sebagai berikut:

Pertama, “Gus” bermakna bagus atau cakep. Kecakepan ini tak sekedar secara fisik tetapi juga cakep secara kepribadiannya (inner beauty). Aspek moral sangat di tonjolkan bagi masyarakat Kudus. Dalam kaitan ini biasanya dengan memperhatikan nasab, pendidikan dan pergaulan.

Kedua, “Ji” pintar mengaji atau lebih populer dengan sebutan santri. Hal ini menjadi prioritas penting karena karakter santri ini sebagai dasar bagi calon pemimpin rumah tangga yang berorientasi ketaatan pada Syariat Islam. Karakter ini biasanya diidentifikasikan dengan melihat latar belakang pendidikan. Mereka lebih memprioritaskan santri yang memiliki pendidikan berbasis agama daripada umum. Maka santri jebolan peantren jauh akan lebih memiliki kedudukan terhormat ketimbang santri kuliahan. Hal ini tak lepas dari hirarki sosial masyarakat Kudus Kulon yang menempatkan kiyai pada posisi yang tertinggi. Bahkan kiyai tak sekedar sebagai sumber keilmuan Islam tetapi sebagai tempat berguru dalam segala persoalan yang terkait masalah individu, keluarga maupun sosial kemasyarakatan, sehingga terbangun sebuah hubungan patron-clien yang menonjol. Kondisi ini diperkuat dengan karakter masyarakat Kudus Kulon yang peternalistik. Dalam posisi inilah posisi santri yang pintar mengaji menjadi incaran para gadis atau orang tua yang memiliki anak gadis siap dinikahkan.

Ketiga, “Gang” lincah berdagang. Belum lengkap rasanya menjadi warga Kudus terutama Kudus Kulon, kalau tidak mampu berdagang. Ketrampilan berdagang ini ditonjlkan karena tak lepas dari pilihan mata pencaharian yang lebih menjunjung tinggi profesi sebagai pedagang. Karena spirit dagangnya didasari dengan nilai-nilai Islam maka profesi dagang yang di inginkan adalah pedagang yang jujur, sebagaimana Sunan Kudus dan Nabi SAW juga seorang saudagar.

Ahmad Ariefuddin

Tinggalkan komentar