Nuklir dan pilihan moral

 

Pada tanggal 2 agustus 1939 Albert Einstein menulis surat kepada presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt yang memuat rekomendasi mengenai serangkaian kegiatan yang kemudian mengarah kepada pembuatan bom atom. Dalam surat itu Einstein antara lain mengatakan, “Saya percaya bahwa merupakan kewajiban saya untuk memberitahukan kepada Anda fakta-fakta dan rekomendasi”

Apakah yang mendorong Einstein merasa berkewajiban untuk memberikan sarana kepada Presiden Roosevelt untuk membikin bom atom? Apakah karena dia anti Rezim Hitler? Apakah karena dia terpanggil oleh kewajibannya selaku warga Amerika Serikat? Sebagai seorang ilmuan yang menemukan rumus E = mc² yang menjadi dasar bagi pembuatan bom atom yang dasyat itu, Einstein merupakan orang yang lebih tahu mengenai akibat dari saran yang dikemukakannya, baik secara fisik maupun secara moral.

Alasan Einstein untuk menulis surat tersebut secara eksplisit juga termuat dalam suratnya kepada presiden Roosevelt dimana dia mengemukakan kekhawatirannya mengenai kemungkinan pembuatan bom atom oleh Nazi. Dia menulis kata-kata :

“Saya mengetahui bahwa Jerman telah menghentikan penjualan uranium dari Cekoslovakia yang telah diambilalihnya. Bahkan Jerman telah mengambil tindakan ini mungkin dapat dihubungkan dengan fakta bahwa putra Menteri Muda Luar Negeri Jerman, Von Weimsacker, ditugaskan pada Institut Kaiser Wilhelm di Berlin di mana beberapa percobaan uranium yang telah di lakukan di Amerika Serikat sedang di coba kembali…

Sekiranya waktu itu Jerman tidak memperlihatkan tanda-tanda untuk membuat bom atom, apakah Einstein akan bersedia menulis surat tersebut? Pertanyaan ini sangat menarik dan menyentuh landasan moral yang fundamental. Keputusan Einstein bukanlah di dasarkan pada nasionalisme atau pratiotisme. Dalam persoalan semacam ini ilmu bersifat netral. Walaupun demikian dalam kasus ini Einstein telah memilih untuk berpihak. Pihak manakah yang dia pilih? Amerika Serikat? Sekutu? Jawabannya adalah bukan, Einstein, seperti juga ilmuwan yang lain, berpihak kepada kemanusiaan yang besar. Kemanusiaan ini tidak mengenal batas geografis, sistem politik atau sistem kemasyarakatan lainnya.

Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu adalah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahannya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas kemanusiaan. Ternyata bahwa dalam soal-soal yang menyangkut kemanusiaan para ilmuwan tidak pernah bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal mengatasi golongan, ras, sistem kekuasaan, agama, dan rintangan-rintangan lainnya yang bersifat sosial.

Einstein waktu itu memihak sekutu karena menurut anggapannya sekutu mewakili aspirasi kemanusiaan. Sekiranya sekutu kalah maka yang akan muncul di muka bumi adalah rezim Nazi yang tidak berperikemanusiaan. Untuk itu seorang ilmuwan tidak boleh berpangku tangan. Dia harus bersikap “Berpihak kepada kemanusiaan atau tetap bungkam?”

Pilihan moral ini kadang-kadang memang getir sebab tidak bersifat hitam di atas putih. Akibat bom atom Hiroshima dan Nagasaki masih berbekas dalam lembar sejarah kemanusiaan kita. Kengerian pengalaman mengenai Hiroshima dan Nagasaki memperlihatkan kepada kita wajah yang lain dari pengetahuan. Seperti Dr. Jekyll dan Mr. Hyde yang bermuka dan berpribadi belah maka ilmu pengetahuan bagaikan pisau yang bermata dua. Diperlukan landasan moral yang kukuh untuk mempergunakan ilmu pengetahuan secara konstruktif.

Salah satu musuh kemanusiaan yang besar adalah peperangan. Perang menyebabkan kehancuran, pembunuhan, dan kesengsaraan. Tudas ilmuwanlah untuk menghilangkan atau mengecilkan terjadinya peperangan ini meskipun hal ini merupakan sesuatu yang hampir mustahil terjadi. Perang merupakan fakta dari sejarah kemanusiaan yang sukar di hilangkan. Mungkin hal ini sudah merupakan fitrah dari manusia dan masyarakat kemanusiaan yang sudah mendarah daging. Walaupun demikian Einstein sampai akhir hayatnya tak jemu-jemunya menyerukan agar manusia mengehentikan peperangan dan perlombaan persenjataan.

Maka pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan kemanusiaan, atau sebaliknya dapat pula di salahgunakan. Tapi sesungguhnya pada dasarnya pengetahuan ditujukan untuk kemaslahatan kemanusiaan. Dan dalam hal ini kitapun perlu menyimak pesan Einstein kepada mahasiswa California Institute of Technology. Pesan itu di sampaikan pada tahun 1938 atau satu tahun sebelum Einstein menulis surat historis yang melahirkan bom atom. Dia berkata bahwa tidak cukup bagi kita hanya memahami ilmu agar hasil pekerjaan kita membawa berkah bagi manusia. Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis.

Pesan itu di akhiri dengan kata-kata “Jangan kau lupakan hal ini di tengah tumpukan diagram dan persamaan.” Sungguh suatu pesan yang patut kita renungkan karena di tengah tumpukan grafik dan rumus-rumus kadang-kadang kita lupa, semua ini untuk apa? Ternyata ilmu tidak saja memerlukan kemampuan intelektual namun juga keluhuran moral. Tanpa itu maka ilmu hanya akan menjadi Frankenstein yang akan mencekik penciptanya dan menimbulkan malapetaka.

Ahmad Ariefuddin

Satu komentar pada “Nuklir dan pilihan moral”

Tinggalkan komentar